Tanggal : 07-08-2018 13:50, dibaca 4962 kali.
Oleh :Wachid Nugroho
Tirakat Menuju Sukses
Sudah sering kita dengar kisah heroik guru-guru jaman dulu yang ketika sekolah sering dalam kondisi sulit, lapar, peralatan sekolah seadanya. Tanpa alas kaki berjalan berpuluh km menuju sekolah. Belajar di rumah dalam suasana remang-remang hanya dengan penerangan ala kadarnya. Jauh dari fasilitas memadai, kelengkapan sarana prasarana, dan berbagai kemudahan lainnya apalagi ‘hiburan’ dan ‘kesenangan’.
Tetapi terbukti keterbatasan dan kekurangan infrastruktur dan sarana prasarana pada masa pendidikan tempo dulu tersebut, justru menghasilkan tokoh-tokoh kharismatik dan figur-figur pemimpin handal, berkarakter (jujur, bersih, dan visioner) serta teguh pendirian.
Memang bisa jadi segala keterbatasan dan minimnya dukungan faktor eksternal tersebut karena dipaksa keadaan, tidak ada pilihan. Tetapi justru jika laku tirakat dan pendidikan keprihatinan tersebut karena pilihan bebas, di tengah glamour dan gegap-gempitanya fasilitas modern, serta tawaran berbagai kemudahan saat ini. Maka quantum keberhasilan yang dicapai tentunya akan lebih besar, lebih bermakna dan lebih menggelora.
Sebagai flashback, perlu dirujuk kembali biografi tiga tokoh inspiratif berikut. Pertama, Ki Hajar Dewantara yang sempat dibuang ke Pulau Bangka dan kemudian diasingkan ke Negeri Belanda (Suprapto Rahadjo, Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959, 2010). Jasa-jasa dan kebesaran beliau telah diapresiasi dengan gelar Pahlawan Pendidikan Indonesia yang visi pendidikannya begitu hebat, sangat menginspirasi dalam membangun karakter, budaya, dan fondasi pendidikan bangsa.
Kedua, Buya Hamka yang dari tahun 1964-1966 dipenjara hanya karena tuduhan pro-Malaysia. Beliau justru menghasilkan pelbagai karya besar semasa dalam tahanan, yang terkenal yaitu Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Dan ketiga, keteladanan Bung Hatta, seorang negarawan sejati sekaligus salah satu Bapak Proklamator Bangsa –yang menyelipkan kisah pejabat negara yang tidak mampu membeli sepatu Bally.
Rahasia mereka adalah visi spiritual dan sikap jiwa prihatin dalam bentuk laku tirakat yang sulit ditemukan di masa era digital saat ini. Saat ini, kemajuan teknologi informasi melalui piranti komunikasi (BBM, gadget, android, ipad, dll) cenderung melenakan dan memanjakan siswa dengan budaya instan, sifat konsumtif, egois-individualisme, dan sikap asosial lainnya.
Prihatin dalam khasanah orang Jawa bermakna tirakat, yaitu suatu langkah yang serba hati-hati dan teguh pendirian agar tujuan dapat tercapai. Keprihatinan merupakan sebuah keadaan diri berupa sikap sabar, telaten, dan ulet dalam rangka menanggung beban dan perjuangan meraih sebuah kesuksesan (http://nuruliman1972.blogspot.com).
Keprihatinan dalam meraih kesuksesan berarti menjadikan sukses sebagai fokus tujuan sambil bersabar atas lelahnya proses kehidupan dan beratnya tantangan. Besarnya harapan atas kesuksesan di akhir perjalanan mampu mengesampingkan kerasnya ujian, kencangnya badai musibah, serta pahit getirnya penderitaan.
Ilustrasi bahwa keterbatasan dan minimnya dukungan sarana prasarana, yang justru mendorong lahirnya perjuangan total-paripurna hingga menghantarkan kesuksesan, juga bisa dilihat dari episode pendidikan di daerah-daerah pelosok. Fragmen ketertinggalan sarana prasarana yang menginspirasi film-film populer seperti Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Denias Senandung di Atas Awan, dll mengisyaratkan betapa jauhnya ketertinggalan di daerah terpencil tidak menghalangi upaya optimalisasi potensi dan bakat untuk meraih kesuksesan.
Siswa perlu di-revitalisasi penghayatan dan proses internalisasi nilai serta semangat belajarnya. Perlu dibacakan ulang dengan kedalaman hati pepatah lama ‘berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian’. Kedalaman maknanya menginspirasi bahwa kesuksesan di masa depan diperoleh dari proses perjuangan panjang yang penuh pengorbanan, masa-masa sulit, jatuh bangun, kesederhanaan bahkan penderitaan.
Jika dilihat dari satu sisi sudut pandang, bisa jadi memang menimbulkan rasa iba dan belas kasih. Sudah tidak up to date lagi –sudah bukan jamannya lagi– ‘tirakat’ dan prihatin di era serba canggih. Tetapi dari sudut pandang pelaku, keprihatinan yang dijadikan pilihan hidup akan dijalani dengan tulus, penuh kesadaran, enjoy, dan bahagia. Tidak perlu dikasihani dan dirisaukan. Ajaran universal ayat suci menasehatkan bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Ikhtiar yang dibersamai doa, diiringi tawakal, tidak akan tertukar hasilnya.
Mendidik siswa sikap prihatin berarti mengajarkan agar mereka ikhlas dan sabar dalam meniti hidup. Teguh pendirian dan ulet dalam mengejar cita-cita. Serta mampu menahan diri dari keinginan sesaat demi sebuah hal yang jauh lebih besar.
Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Pengalaman sejarah dan biografi tokoh –dengan segala kesuksesannya– dijadikan cambuk dan pelajaran yang menggugah motivasi dan inspirasi bagi generasi muda sekarang. Bisa jadi, korupsi yang menggurita di negeri ini, juga bisa diatasi dengan ‘laku tirakat’, kesederhanaan, dan pendidikan keprihatinan.
Share This Post To :
- Artikel Lainnya
-
07-08-2018 13:52 (Wachid Nugroho)
Teladan Guru Anti-Korupsi
-
15-12-2011 04:48 (admin)
10 Trik Belajar Efektif
-
31-03-2011 23:14 (Drs. Nurkolis, MM)
Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang
-
16/08/2009 (Uswatun Hasanah)
Apa Itu Pemanasan Global
-
16/08/2009 (www.sekolahindonesia.com)
Pendidikan dan Proses Humanisasi